[Cerpen] Kado Lebaran Untuk Bapak Penjual Pisang
“Tolong...tolong..ada perampok. Tolong...!!” Jeritan seorang bapak tua terlihat panik di pinggir jalan yang sepi.
Aku
menepikan mobilku dan keluar untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Ada apa pak? Ada perampok dimana?”
Aku harus
menunggu kurang lebih lima belas menit untuk menenangkan bapak tua itu untuk
menceritakan penyebab teriakan minta tolongnya.
“Saya ini kan jualan pisang pakai gerobak,
itu gerobak saya disana. Nah tadi ada orang pakai mobil berhenti di depan
gerobak jualan saya. Dia nggak turun dari mobil cuma buka kaca jendela. Katanya
mau beli pisang, tapi saya yang disuruh masuk ke dalam mobil. Karena ini kan
bulan Ramadhan dia ngakunya sedang puasa, jadi dia malu kalau harus turun dari
mobil. Saya nurut saja mas, saya masuk ke dalam mobilnya di jok belakang
ternyata ada orang lain lagi mungkin temannya. Setelah saya masuk malah pintu
mobil dikunci dari dalam, kantong saya dirogoh-rogoh dan mereka mengambil uang
saya. Uang saya tiga juta lima ratus ribu rupiah niatnya saya mau setor ke
travel umroh untuk uang muka daftar umroh. Saya ngumpulin uang itu sudah setahun dari
untung jualan pisang. Sekarang habis semua diambil mereka, mas. Ya Allah tega
banget mereka sama orang tua kayak saya” Bapak tua menceritakan
kronologisnya sampai menetes air matanya.
Aku menyeka
pipi bapak tersebut dan merangkulnya.
“Astagfirullah... sabar ya pak. Cobaan di bulan
Ramadhan. Semoga Allah menggantinya dengan rejeki lain berkali-kali lipat.
Bapak ingat plat nomor mobilnya?”
“Ndak, mas. Saya hanya ingat warna mobilnya
abu-abu (silver)”
Aku
berpikir bagaimana cara membantu bapak ini sedangkan di kota ini ada ribuan
kendaraan berwarna silver dari berbagai merk dan jenis. Alih-alih memikirkannya
aku putuskan untuk mengantarkan bapak ini pulang ke rumah.
“Pak, saya antar pulang aja dulu ya pak biar
bapak tenang. Gerobaknya mungkin bisa dititip dulu.”
“Iya, kalau begitu Terimakasih, mas... mas
siapa namanya?”
“Agus, pak. Nama saya Agus”
***
Di dalam
mobil pak Darto masih terlihat lesu, aku berusaha mengusir keheningan dengan
mengajaknya ngobrol seputar kehidupannya.
“Bapak sudah lama jualan pisang, pak?”
“Iya mas, sudah dua puluh lima tahun saya
jualan pisang”
“Lama juga ya pak, anak sudah besar-besar pak?”
“Saya tinggal sendirian, mas. Saya nggak punya
anak, dan setahun lalu istri saya meninggal. Satu yang saya sesali, dia itu
ingin sekali ke tanah suci tapi saya berpikir kami ini hanya orang miskin mana
mungkin bisa pergi kesana. Padahal harusnya saya berusaha dulu menabung dan
berdo’a, tapi saya sadarnya setelah istri saya meninggal. Tapi sejak itu saya
bertekad, saya akan mendo’akannya di depan ka’bah untuk meneruskan impiannya
semasa hidup. Tapi ya pas terkumpul uangnya untuk bayar uang muka malah diambil
orang. Saya harus mengulang nabung dari nol lagi”
Tenggorokanku
tercekat rasanya, sulit mencari padanan kata yang pas untuk menghibur atau
sekedar menyemangati pak Darto. Uang tiga setengah juta bagiku bukan jumlah
yang besar. Tapi bagi bapak ini uang tersebut dikumpulkannya dengan susah
payah, dan ada cerita mengharukan tentang istrinya dibalik kegigihannya
menabung untuk pergi ke tanah suci.
***
“Assalamualaikum...
pak Darto”
“Walaikumsalam,
mas Agus toh rupanya. Mari masuk”
Setelah pertemuan pertamaku
dengan pak Darto aku menemuinya lagi untuk menyampaikan suatu hajat.
“Pak,
saya datang kesini mau mengajak bapak untuk umroh. Kita daftar umroh di biro perjelanan Haji Umroh yang sudah terpercaya. Bapak
mau kan, pak?”
“Hah..
apa bapak ndak salah dengar? lagi pula biaya umrohnya mahal"
"Tenang pak, insyaAllah Travel ini menyediakan umroh murah"
"Tapi Kenapa mas Agus tiba-tiba mau ajak bapak umroh? Kalau karena kasihan dengan kejadian kerampokan bapak kemarin, ndak perlu. Bapak sudah ikhlas dengan kejadian itu.”
Kemudian aku menjelaskan
alasan kenapa aku ingin mengajak pak Darto, orang yang baru kutemui dua minggu
lalu untuk melaksanakan ibadah umroh.
Aku sudah menjadi anak yatim sejak
masih di dalam kandungan. Kami tidak punya sanak saudara karena kata ibu, kami
diasingkan dari keluarga hanya karena ibu memilih menikah dengan pria miskin
yaitu ayahku.
Aku ingat, ibu menghidupi
anaknya dengan menjadi buruh cuci dan berjualan pisang. Ya, sama seperti pak
Darto ibuku menjadi penjual pisang yang untungnya selalu dia tabungkan katanya
untuk aku bersekolah. Ibu adalah orang yang rajin
beribadah, di dinding rumah kami dulu ada poster bergambar ka’bah yang sudah
lusuh. Ibu sangat sering memandangi poster itu
terutama ketika selesai sholat. Setelah besar baru kusadari, ternyata ibu ingin
sekali berangkat haji. Namun setiap dapat uang dia selalu mengutamakan
kebutuhanku.
Belum sempat aku mengajak ibu
ke tanah suci, dia lebih dulu dipanggil Allah ketika aku duduk di bangku SMA. Aku
yang sudah menjadi sebatang kara, berjanji menjadi anak yang sholeh dan sukses
demi ibu.
Sekarang aku sudah bekerja di
sebuah agen perjalanan umroh, ingin sekali aku mengajak anggota keluarga untuk haji umroh.
Namun aku tidak punya siapa-siapa sampai aku ketemu pak Darto. Kami sama-sama
sebatang kara, dan sama-sama ingin mewujudkan impian orang yang kami sayang.
“Begitu ceritanya, saya mohon
bapak mau umroh bersama saya. Tapi karena nggak keburu untuk ikut umroh Ramadhan, kita umroh setelah lebaran ya pak. Anggap ini kado lebaran untuk bapak. Ketika nanti di depan ka'bah kita bisa mendo'akan orang-orang yang mendahului kita sebagai kado lebaran untuk mereka yang kita sayangi.”
Pak Darto memelukku, aku
merasakan pundakku basah.
“Terimakasih, nak Agus.
Terimakasih. Sungguh ini Berkah Ramadhan bagi bapak”
***
Get notifications from this blog