Dialog ku Pada Langit
Dari dulu kita tak
pernah berubah. Kamu adalah kamu. Aku adalah aku. Hanya saja aku terlalu
banyak mengira-ngira, terlalu banyak mereka-reka. Hingga akhirnya
daun-daun menertawakan kebodohanku, awan-awan menyelidiki kegamanganku,
rumput-rumput merutuki kemalanganku, dan kupu-kupu datang dengan tarian
penyesalan.
Langit bertanya, mengapa aku begitu bodoh, begitu gamang, begitu malang dan melahirkan penyesalan? Aku berdiri dan membela. “Aku tidak bodoh, langit. Aku juga tidak gamang. Jangan menganggapku malang. Ya aku akui penyesalan begitu tajam menusukku” Lalu ku tarik nafas panjang, ku lihat langit masih menunggu pembelaanku. “aku..aku hanya bingung. Aku hanya takut. Ntah lah, rasa ini begitu aneh. Ini seperti... seperti rasa penasaran yang tak pernah tuntas”.
Langit mulai menampakkan raut teduhnya, daun-daun masih memandang sinis, awan-awan memandangku iba, rumput-rumput masih bersungut-sungut dan kupu-kupu tak menghentikan tariannya. “Ada yang harus kau tahu” Langit mulai menasehatiku. “rasa penasaran yang tak pernah tuntas itu adalah rasa keragu-raguan dalam hatimu. Rasa ketidakpastian dan ketidakpuasan yang merongrong pikiranmu. Hanya ada satu cara.” Langit menghentikan ucapannya. Aku terus mengadah. “Cara itu adalah, bertemanlah dengan waktu”.
Aku berang mendengar saran langit. “itu, justru itu yang membuatku terus dalam keragu-raguan, ketidakpastian dan ketidakpuasan. Waktu begitu tega, langit. Tega nian ia membelengguku. Tega nian ia mempermainkanku. Waktu terlalu tega, ia terus mengabaikanku. Waktu terus berlari, tergesa-gesa aku mengejarnya. Terengah-engah aku dibuatnya. Tapi ia terus berlari tanpa peduli, bahkan tak jarang ia menatap ke belakang hanya untuk mencemoohku. Tega nian waktu padaku, ia tak punya rasa kasihan meski aku sudah mengiba-iba kepadanya”.
Langit menatapku, tatapannya tak bisa ku artikan. Daun-daun mengendurkan tatapan sinisnya, awan-awan mengubah ibanya menjadi simpati, rumput-rumput merubah rutuknya menjadi bisik-bisik, dan kupu-kupu mengganti tariannya. Lalu langit berkata bijak “kau tak perlu berang dan menyalahkan waktu. Waktu tak pernah terburu-buru. Kau yang terlalu lambat"
Daun-daun, awan-awan, rumput-rumput dan kupu-kupu menyetujui petuah bijak langit. Hanya aku, hanya aku yang masih belum mengerti.
Langit bertanya, mengapa aku begitu bodoh, begitu gamang, begitu malang dan melahirkan penyesalan? Aku berdiri dan membela. “Aku tidak bodoh, langit. Aku juga tidak gamang. Jangan menganggapku malang. Ya aku akui penyesalan begitu tajam menusukku” Lalu ku tarik nafas panjang, ku lihat langit masih menunggu pembelaanku. “aku..aku hanya bingung. Aku hanya takut. Ntah lah, rasa ini begitu aneh. Ini seperti... seperti rasa penasaran yang tak pernah tuntas”.
Langit mulai menampakkan raut teduhnya, daun-daun masih memandang sinis, awan-awan memandangku iba, rumput-rumput masih bersungut-sungut dan kupu-kupu tak menghentikan tariannya. “Ada yang harus kau tahu” Langit mulai menasehatiku. “rasa penasaran yang tak pernah tuntas itu adalah rasa keragu-raguan dalam hatimu. Rasa ketidakpastian dan ketidakpuasan yang merongrong pikiranmu. Hanya ada satu cara.” Langit menghentikan ucapannya. Aku terus mengadah. “Cara itu adalah, bertemanlah dengan waktu”.
Aku berang mendengar saran langit. “itu, justru itu yang membuatku terus dalam keragu-raguan, ketidakpastian dan ketidakpuasan. Waktu begitu tega, langit. Tega nian ia membelengguku. Tega nian ia mempermainkanku. Waktu terlalu tega, ia terus mengabaikanku. Waktu terus berlari, tergesa-gesa aku mengejarnya. Terengah-engah aku dibuatnya. Tapi ia terus berlari tanpa peduli, bahkan tak jarang ia menatap ke belakang hanya untuk mencemoohku. Tega nian waktu padaku, ia tak punya rasa kasihan meski aku sudah mengiba-iba kepadanya”.
Langit menatapku, tatapannya tak bisa ku artikan. Daun-daun mengendurkan tatapan sinisnya, awan-awan mengubah ibanya menjadi simpati, rumput-rumput merubah rutuknya menjadi bisik-bisik, dan kupu-kupu mengganti tariannya. Lalu langit berkata bijak “kau tak perlu berang dan menyalahkan waktu. Waktu tak pernah terburu-buru. Kau yang terlalu lambat"
Daun-daun, awan-awan, rumput-rumput dan kupu-kupu menyetujui petuah bijak langit. Hanya aku, hanya aku yang masih belum mengerti.
Get notifications from this blog
Bagus. :)
ReplyDelete