Apa Rasanya?
Sudah dua bulan saya menikah dan banyak orang-orang di
sekitar saya bertanya “apa rasanya nikah?” . kalau yang bertanya orangnya belum
menikah jelas mereka kepo dan saya jawab lah semanis mungkin supaya mereka
cepetan nyusul. Kalau yang bertanya orangnya sudah nikah, saya yakin mereka
cuma ngecengin saya karena mereka pasti sudah mengalami sendiri rasanya
menikah.
Kalau ada yang baca feeds instagram saya mungkin bisa tahu
dari foto dan cerita yang saya share tentang kehidupan saya setelah menikah.
Lebih menyenangkan tentunya, karena dari yang dulunya sendiri sekarang sudah
ada temannya, dari teman cerita sampai teman tidur *ehem*.
Kenal tiga bulan sebelum menikah membuat saya nggak mau
berekspetasi tinggi tentang sifat suami saya. Pokoknya sebelum menikah saya
niatkan untuk ibadah, dan lihat dari bibit bebet bobotnya baik maka Bismillah,,,,
saya mulai pernikahan ini dengan banyak ketidak tahuan tentang pribadi satu
sama lain.
Bermodalkan cerita dan pengalaman orang-orang yang sudah
menikah terutama di posisi istri, saya berusaha menyiapkan mental untuk jadi
istri yang patuh, rajin beberes rumah, bisa masak apa saja yang suami
inginkan,dan mematuhi semua omongannya meskipun itu saya nggak suka. Walaupun
pada kenyataannya saya bukan orang yang seperti itu, tapi saya ingin jadi
seperti itu. Karena saya pikirpun suami saya adalah tipikal suami yang memimpin
dan mengatur segala hal.
Tapi ternyata yang saya pikirkan itu terlalu berlebihan,
mungkin efek keseringan nonton FTV di Indosi*r
yang sering menayangkan adegan suami suka bersikap bossy terhadap istri
*jangan ditiru*. Kenyataannya Mas Agus type yang sabar dan nggak banyak
menuntut. Saya belum bisa masak yang ribet-ribet, dia makan apa saja yang saya
masak meski sederhana atau bahkan gosong. Saya orangnya ngambekan dan perasa,
ada hal kecil saja yang menyinggung hati maka saya akan diam dan ujung-ujungnya
menangis. Mas Agus sabar banget ngebujuk saya sampai saya mau ngomong dan
mengutarakan unek-unek saya yang berujung kami saling meminta maaf. Saya juga
bekerja maka saya nggak telaten banget soal beberes rumah, tapi mas Agus
orangnya sangat kooperatif. Saya memasak, dia membantu mencuci baju. Saya
mencuci piring, dia membersihkan tempat tidur. Saya nyapu, dia buang/bakar
sampah. Sekalipun dia ingin diambilkan atau dibuatkan sesuatu dan saya sedang
capek maka dia nggak memaksa dan menyuruh saya istirahat.
Alhamdulilllah....
Nggak nyangka banget dapat suami yang pengertian dan baik
seperti dia. Awalnya saya nggak berani berekspetasi tinggi tentang dia, yang
saya inginkan hanyalah ada sosok yang bisa mengayomi dan melindungi saya.
Ternyata dikasih Allah benar-benar seperti yang saya mau. Sekali lagi ini
membuktikan bahwa nikah tanpa pacaran itu bukan berarti kita kayak beli kucing
dalam karung.
Dua bulan berjalan semua terasa indah. Meskipun nggak semua
hal berjalan mulus. Tentu saja kami sudah ada berantem dan drama nya. Kami pun
juga sudah dihadapi problem yang
sempat bikin pusing. Tapi bagi saya semua tetap terasa indah. Indah karena kami
menghadapinya berdua, dia tidak ingin cobaan hanya membebani saya sendiri pun
sebaliknya saya nggak mau membuatnya menanggung sendiri. Indah karena
berantem-berantem itu membuat kami jadi makin mengerti karakter satu sama lain,
membuat kami merasa tetap saling membutuhkan meski sudah saling bersikap
menyebalkan. Indah karena setiap senang dan susah kami kembalikan semua kepada
Allah, berusaha menjadi alarm satu sama lain untuk bersyukur dikala senang dan
memohon kepada Allah atas semua yang diharapkan.
Saya nggak tahu pernikahan ini akan berjalan sampai kapan,
akan berhenti dimana. Tentu saja dalam do’a saya ingin bersama mas Agus tidak
hanya di dunia tapi juga di kehidupan setelahnya. Kami nggak tahu apa kami akan
makin mencintai atau hanya menggebu di awal, apapun yang terjadi yang kami bisa
lakukan adalah memelihara cinta yang ada sekarang.
Jadi masih ada yang ingin bertanya ke saya “Apa rasanya
menikah?” :)
*yang single saya doakan cepat dapat jodoh ya, tapi jangan
lewat pacaran ;p*
Get notifications from this blog