Media Sosial Setajam Silet
Judulnya mirip-mirip infotainment
yak, tapi tenang tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas artis A yang sudah
berpisah dengan artis B kemudian membuat
rekayasa cinta dengan artis C yang ditanggapi oleh artis D *puyeng deh tuh*. Tapi ini lebih kepada kegelisahan hati calon mamak muda kayak saya.
Saya sudah melek Medsos (Media Sosial) sejak 2008, mulai dari chatting mIRC, friendster, blog, facebook, twitter, bbm, path,
instagram saya pernah dan masih punya. Setiap platform memberikan kesan dan
keseruan yang berbeda.
Teknologi cepat banget berkembang
pesat hanya dalam beberapa tahun. Kalau dulu ngobrol sama kerabat dan teman
yang jauh itu caranya cuma nelpon atau sms (itu pun mesti diirit-irit karena
tarifnya mahal) sekarang kita bisa chating bahkan video call dengan tarif yang
murah karena berbasis kuota.
Kita juga bisa share apa saja di
sosmed. Mau makan diposting, lagi hangout diposting, lagi di sekolah juga diposting,
lagi di WC pun ada yang posting *ewwww*. Media sosial juga sudah menggantikan tempat
buku harian bagi orang-orang untuk curhat. “ya
Allah... aku suka banget sama dia, tapi kenapa dia lebih milih sahabatku. Aku
tau aku nggak sempurna tapi alisku tebal tanpa pakai pensil alis kok, hiiiiks*
Dulu pun saya termasuk orang yang
share apa saja di akun medsos saya tanpa filter. Apalagi ortu saya rada gaptek jadi
mereka memang nggak bakal tahu apa saja yang saya posting. Saya juga pernah ada
di masa-masa minder untuk bersosialisasi secara langsung dengan orang lain.
Mungkin itu yang bikin saya nyaman berjam-jam depan komputer untuk berteman
dengan orang-orang yang hanya saya lihat dari foto itupun mungkin sudah diedit
dengan susah payah pakai photoshop (oke, bagian yang ngedit foto itu pengalaman pribadi saya #pengakuan).
Sampai dimana saya menemukan jati
diri di dunia nyata. Saya nyaman dengan komunitas sosial yang bikin saya
belajar banyak hal. Saya mulai mengurangi curhat soal pribadi dan lebih memilih memanfaatkan medsos untuk mencari donasi, relawan, dan hal-hal bermanfaat
lainnya. Saya memang masih suka cerita di akun medsos saya tentang kehidupan pribadi tapi
ceritanya sudah saya pilah pilah hanya yang menurut saya bermanfaat atau
tentang kebahagiaan saja. Sekalipun curhat tentang kesedihan , gaya bahasanya
sudah saya atur untuk tidak blak-blakan dan lebih kepada apa hikmah dari
masalah yang membuat saya sedih.
Alhasil kenapa postingan di blog
ini sedikit padahal saya sudah ngeblog dari 2009? Karena banyak saya hapusin
postingan alay nggak jelas jaman dulu, hahaha.
Eh kok jadi cerita tentang saya
sih? *gagal fokus*
Sebagai pengguna dan pemerhati medsos
bertahun-tahun , saya agak kaget kalau membaca komentar-komentar netizen jika
menanggapi sesuatu yang sedang viral dan heboh. Misal nih ya ada gosip tentang
artis tertentu, ramai-ramai orang-orang memberikan komentar di akun si artis
dengan kata-kata dukungan namun ada pula dengan kalimat cacian dan hinaan
(ketahuan saya suka nge-stalk, eh tapi sering juga muncul di explore sih :p).
Satu hal yang bikin shock adalah pas baca-baca komentar yang
bersifat hinaan itu justru datang dari anak-anak bocah atau orang yang sudah
dewasa. Pertanyaannya “kok bisa anak yang masih bocah ngomong kasar begitu? Lantas apa
artinya pendidikan yang sedang mereka jalani ? Dan kok bisa orang
yang sudah dewasa ngomong begitu? Apa artinya umur, pendidikan yang sudah
mereka dapat, dan keyakinan beragama yang mereka pegang? Kalau emang nggak suka
sama sosok tersebut kenapa nggak diunfollow, diblokir sekalian, jangan sengaja
banget dikomentarin? “
Hm........... wajar kadang ada
public figure yang stres banget kalau sudah dibully netizen meskipun sebenarnya
masalah yang datang karena perilakunya sendiri yang menjadi sorotan banyak mata
dan media.
Terus ya, saya heran melihat reaksi netizen menangggapi
kasus-kasus yang sedang viral di Indonesia. Contohnya kasus sidang Jessica, aksi damai 411,
dan lainnya. Tentu saja saya mengikuti perkembangan beritanya di media, dan
kaget baca komentar orang-orang. Kasus Jessica misalnya, tentu kita sebagai
orang awam merasa prihatin ada yang kehilangan nyawa dari niat mereka reuni di
coffe shop. Menyesali pula jika memang tersangka terbukti meracuni. Mungkin
kita ikutan kesal, tapi nggak perlu kan nulis kata-kata hujatan untuk si
tersangka. Pertama, belum tentu si tersangka baca karena dia lagi ditahan nggak
bisa pegang handphone kecuali dibawah pengawasan petugas. Kedua, komentar
hujatan kita tidak membantu jalannya persidangan. Ketiga, dapat dosa deh karena
menulis kata-kata hujatan kayak gitu.
Lebih sedih lagi saya baca-baca
komentar netizen tentang konflik penyebab aksi damai 411. Anggaplah kita belum
tahu banyak ilmunya, seluk beluk permasalahannya, ya jangan komentar macem-macem dan lebih baik belajar. Sedih
rasanya sampai ada yang menghujat para ulama. Ulama memang manusia biasa yang bisa salah, tapi tahu nggak kalau mereka sudah
mendedikasikan hidupnya untuk belajar tentang ilmu agama dan menyiarkannya
lewat dakwah supaya kita-kita yang nggak pernah nyantri atau sekolah di
universitas Islam ini bisa tahu, bisa belajar, nggak tersesat. *betuull tidaaak?*
Sekalipun kita tahu ilmunya
jangan terpancing sama orang yang memang suka memprovokasi. Maksud kita baik
tapi disampaikan dengan menyematkan nama-nama hewan ya nggak baik juga jadinya.
Haduuh nggak perlu saya jelaskan panjang lebar, silahkan buka facebook atau
instagram, cari akun-akun besar , siapkan popcorn untuk membaca perang komentar
para netizen itu *dan jangan lupa banyak-banyak isitigfar pas bacanya*.
Memang di jaman demokrasi seperti ini kita
bebas menyampaikan pendapat tanpa perlu takut tiba-tiba kita atau anggota
keluarga kita diculik dan “dihilangkan” seperti jaman dulu. Tapi kebebasan yang
ada nggak serta merta membuat kita bebas menyampaikan apapun tanpa disaring
terlebih dahulu, kan?
Disini peran saya sebagai calon
orang tua rasanya punya PR yang berat. Di satu sisi di jaman anak saya nanti
teknologi tentu makin maju, nggak mungkin membuatnya nggak mengenal teknologi.
Nggak usah diajarinpun saya yakin dia akan bisa. Tapi melihat jaman sekarang
aja begitu “vulgar” nya teknologi tanpa filter maka saya punya misi besar untuk
mengenalkan teknologi yang baik sama anak-anak saya kelak. Sebagai orangtua
tentu saja saya dan ayahnya nggak bisa mengawasinya 24 jam penuh. Tapi saya
harus bisa menanamkan kepercayaan bahwa ada pengawas yang 24 jam selalu ada.
Merekalah malaikat di kanan kiri yang Allah tugaskan untuk mencatatat segala
perbuatan. Namun Malaikat hanyalah pesuruh Allah, lebih besar lagi keyakinan yang harus dipupuk bahwa
Allah Maha melihat. Jangan sampai fasilitas yang kami berikan nanti digunakan
secara negatif. *elus-elus perut*.
Fiiuuuh kesannya serius banget
ya. Tapi memang harus serius kalau nggak mau anak terbawa arus yang salah. Coba
deh buka instagram dan klik explore. Meski kita nggak follow, kadang akun-akun
porno-nyeleneh-penuh sensasi nongol sendiri dan kita bisa terbelalak saat lihat
followers dan likersnya bisa sampai ratusan ribu. Coba lirik akun dakwah,
bisa-bisa kalah saing. Begitulah potret jaman sekarang dimana hal –hal negatif
bisa saja digandrungi sebagian besar kalangan termasuk generasi muda. Saya juga
kaget banget misalnya foto bocah-bocah pacaran malah likersnya buanyaaak banget
dan comment-comment berdatangan dari bocah-bocah lain seperti “waaa envy” atau
“relationship goals banget nih” dan
comment lain yang kesannya mendukung. Please deh tuh bocah masih minta jajan
sama ortu, nilai masih sering remedial aja udah pamer kemesraan di medsos. Haduuh gimana saya sebagai calon mamak nggak
tambah khawatir.
Nah jadi saya ingin anak saya
kelak meskipun nggak sengaja melihat hal-hal yang negatif di internet, dia menjadi anak yang tanpa ada siapapun manusia di dekatnya mampu klik
tombol close dan membuka situs-situs lain yang lebih bermanfaat. Saya ingin dia
menjadi anak yang ketika dengan tidak sengaja muncul akun-akun nyeleneh di medsosnya yang dia lakukan adalah istigfar dan memblokir akun tersebut.
*bantu Amiii-in dooong*
Padahal kalau mau dimanfaatkan
dengan baik teknologi bisa membantu mempermudah kehidupan kita bahkan
mendapatkan penghasilan. Nggak jarang penggalangan donasi untuk korban bencana
dan konflik bisa terkumpul dengan the power of socmed. Cuma yaaa ada masanya media sosial setajam silet, kalau nggak dimanfaatkan dengan baik maka bisa melukai. Mungkin
tidak langsung membunuh namun luka sayatan silet tentu sangat perih.
Nah saya sebagai orang biasa
tentu nggak bisa dengan gampangnya membuat orang-orang untuk berkomentar dengan
santun, atau membuat para bocah-bocah selebgram itu memposting hal-hal yang
bermanfaat saja, saya nggak bisa merubah Indonesia (merubah harga cabe aja
nggak bisa). Tapi saya bisa mulai dari diri dan keluarga saya sendiri. Mulai dari
mendidik anak saya nantinya.
***
Sekian curahan hati calon mamak
muda, semoga kelak bisa punya anak yang memanfaatkan teknologi agar bisa
membantu orang banyak. *kalau sudah bisa baca dan main internet jangan lupa
baca tulisan mamak ini ya nak*.
Get notifications from this blog
aamiin, semoga anaknya punya 'rem' yang bagus jika suatu hari melihat yang buruk
ReplyDelete