Belajar Dari Anak Nakal
Jaman sekolah dulu saya suka nggak habis pikir dengan anak nakal. Kenapa ya kok ada anak yang hobi melanggar aturan sekolah? Suka bolos, baju dipendek-pendekin, ngerokok di belakang kelas, nonton bokep di dalam kelas (hayooo siapa yang begini), malakin anak-anak lain. Kok mereka nggak mikirin orang tua yang sudah capek-capek bayar sekolah, beliin buku, kasih uang saku, supaya mereka bisa mendapatkan pendidikan tapi malah dibalas dengan kenakalan mereka.
Intinya pikiran cetek saya dulu, mereka nakal karena memang mereka nggak mau jadi anak baik. Nggak mau jadi orang sukses. Mereka anak yang cuma bisa bikin susah orang tua. Tentu saja saya menjauhi kategori anak nakal seperti itu, dan saya termasuk siswi yang lurus-lurus saja.
Itu dulu, sampai saya makin dewasa dan saya bekerja di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) atau yang lebih dikenal dengan lapas anak.
Kebayang nggak anak-anak di bawah 18 tahun harus menjalani masa mudanya di lapas selama beberapa tahun. Terasingkan dari keluarga dan pergaulan. Kenakalan macam apa yang membawa mereka kesini?
Karena sering interaksi dengan mereka saya jadi bisa melihat dari berbagai sisi. Intinya mereka semua nakal di luar tapi di lapas baik-baik kok. Kadang-kadang ada kenakalan semacam berantem sama teman sekamar tapi ya sebatas itu aja. Kalau disuruh sholat berjamaah, nurut. Disuruh bersih-bersih nurut, disuruh ikut kelas paket A/B/C nurut juga. Dilatih bertukang, berkebun, memasak pun mereka juga mau.
Disitu saya sadar mereka nakal bukan karena mereka ingin jadi seperti itu tapi faktor keluarga adalah yang utama.
Di lapas mereka jauh dari keluarga, maka semua petugas lapas adalah pengganti orang tua mereka. Di Lapas mereka harus mengikuti aturan "orangtua" mereka disini. Kalau di lapas aturannya harus bangun pagi dan sholat lima waktu, ya mereka menurut. Mereka juga sering diceramahin untuk dikasih tahu mana yang baik, mana yang buruk. Dinasehati untuk nggak mengulangi kesalahan di masa lalu, disemangati untuk memulai hidup yang lebih baik setelah keluar nanti.
Kami petugas lapas memang diharuskan untuk merangkul dan membina mereka. Nah ternyata rangkulan dan pembinaan itu yang nggak mereka dapatkan di luar. Rata-rata latar belakang mereka berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Orang tua mereka dari subuh sudah berangkat ke kebun atau jadi buruh di pabrik, pulangnya bisa sore atau malam. Pulang-pulang tinggal lelah. Nggak nanya anak seharian ngapain aja.
Orangtua mereka juga nggak menganggap pendidikan itu penting, karena mereka nggak mampu dan nggak mau memperjuangkan pendidikan anaknya sehingga si anak ya keluyuran semaunya dia. Ujung-ujungnya jadi anak nongkrong di warnet, nontonin film porno, dapat pacar, dipratekkin tuh apa yang ditonton. Ketahuan keluarga si cewek, dilaporin deh ke Polisi, akhirnya masuk lapas.
Ada juga yang nggak sekolah, ngikut-ngikut pemuda kampung, eh ujung-ujungnya dijadiin kurir narkoba.
Ada juga yang maling, karena tahu orangtuanya nggak bakalan bisa ngasih duit jajan.
Eh anak orang berada juga ada kok, tapi ya itu tadi tersandung kasus perlindungan anak juga. Ngakunya pacaran saling cinta, eh tapi kebablasan.
Inti dari semua itu kurangnya perhatian orang tua.
Kebanyakan orang tua tahu tugasnya hanya membesarkan dalam artian memberikan pangan, sandang, papan. Tapi mereka lupa memberikan perhatian. Mereka pikir kalau anaknya sudah bisa pakai baju sendiri, sudah bisa makan sendiri, ya sudah tugas orang tua selesai tinggal cari duit aja.
Padahal tugas orang tua nggak akan pernah selesai sampai mati.
Kebayang nggak anak itu bagaikan kertas putih. Dia nggak tahu mau ditulis apa di kertas tersebut. Jadi kalau orang tuanya cuek, terus ada orang lain yang isi kertas tersebut meskipun dengan coretan hitam kelam, ya dia terima-terima aja.
Memang yang namanya coretan bisa dihapus, tapi bekasnya tetap ada.
Banyak orang tua yang berpikir kalau sudah remaja anak sudah bisa menentukan mana yang baik, mana yang buruk. Makanya ketika anak tersandung masalah, malah dimarahin "Gimana sih sudah tahu itu nggak baik masih aja dilakuin". Orang tua lupa, anak itu penuh dengan rasa ingin tahu.
Ibaratnya anak kecil pengen banget pegang api, kita larang dan kita bilang bahwa api itu panas bisa membakar kulit. Tapi si anak tetap ngeyel pengen pegang. Kalau kita benar-benar mau kasih pelajaran, ambil korek api gas nyalakan dan dekatkan ke tangannya. Pasti si anak akan ngerasa panas, dan ajak dia membayangkan, didekatkan saja panas apalagi kalau sampai beneran kena. Beda dengan orang tua yang cuma bilang "jangan main api, panas" terus anaknya ditinggal. Anak yang penasaran bisa saja mencari api unggun, dia pegang dan akhirnya beneran kebakar.
Saya bisa ngomong begini bukan karena saya sudah sangat berpengalaman menjadi orang tua, tapi karena saya berpengalaman menjadi anak.
Sama halnya dulu ketika saya dilarang pacaran. Cuma dibilangin pacaran itu dosa, nggak baik, ya udah sampai situ aja. Jadi saya penasaran dong, kenapa pacaran nggak baik? kenapa nggak boleh begini, begitu? baik orang tua atau guru, nggak ada yang menjelaskan detail tentang gejolak hormon lelaki dan perempuan. Tentang psikis anak muda yang menggebu-gebu dan berpikiran pendek. Alhasil saya mencari jawabannya dengan mencoba. Setelah ngalamin dampak buruknya, baru deh kapok dan paham kenapa agama dan orang tua melarang pacaran.
Banyak metode parenting yang saya adaptasi dari bagaimana orang tua saya membesarkan saya. Hal itu saya bandingkan dengan lingkungan saya. Ada hal-hal membuat saya paham kenapa saya punya kesamaan dan juga perbedaan karakter dengan teman-teman saya.
Salah satunya bagaimana cara berkomunikasi dengan orang tua.
Saya dan orangtua mungkin bukan kayak sahabat yang bisa cerita apa aja. Tapi saya akrab dengan mereka. Dalam artian nggak canggung kalau harus cerita apa yang terjadi di sekolah, siapa teman-teman saya, karena mereka juga menanyakan itu. Saya nggak canggung harus merengek dan bergelayut di bahu mereka untuk minta uang atau minta dipijitin. Saya nggak canggung harus cium pipi mereka di kala bepergian atau baru pulang meskipun ada teman-teman saya yang melihat.
Itu semua membuat saya mikir panjang kalau sampai berbuat salah. Tentu saja saya juga kayak anak-anak lain yang juga bisa melakukan kesalahan tapi untuk sampai ke tahap "fatal" kasih sayang orang tua sayalah yang membayangi-bayangi saya untuk tidak menghianati mereka.
Berbeda dengan teman-teman saya yang punya "jarak" yang jauh dengan orang tua mereka. Ketika berbuat perilaku yang menyimpang, nggak ada bayangan kasih sayang orang tua yang dihianati karena memang nggak ada memori manis yang melekat di hati dan pikiran. Apalagi kalau sudah bisa cari uang sendiri, ada dalih ketika melakukan pelanggaran itu semua berasal dari uang sendiri bukan orangtua.
soure : Steemit.com |
Saya punya teman yang lebih tua dari saya, tapi masih hobi senang-senang yang kelewat batas. Bahkan nggak jarang saya yang lebih muda harus nasehatin dia. Saya bingung kenapa dia yang lebih dewasa nggak bisa mikirin dampak dan akibat jangka panjang dari hal yang dia lakuin. Sampai dia cerita, kalau dia dididik dengan keras oleh ayahnya dalam artian dikekang dari kecil. Nggak ada memori manis yang dikenang bersama ayah. Dia bilang, apa yang dia lakukan semacam pembalasan atas rasa terkekang dia waktu kecil. Satu-satunya "rem" dia saat ini cuma ibunya.
Disitu saya baru sadar, masa kecil sangat berpengaruh dengan apa yang akan dilakukan di masa depan. Jadi nggak heran dengan orang yang mudah main tangan ketika emosi, karena waktu kecil dia juga diperlakukan hal yang sama oleh orang tuanya. Pernah melihat orang dengan mudahnya berkata kasar padahal hanya karena hal sepele? bisa jadi dia dibesarkan oleh orang tua yang gampang berkata kasar meski anaknya hanya melakukan kesalahan kecil.
Beda dengan orang yang bakalan shock kalau ada orang yang ngomong kasar di depan dia, shock karena nggak terbiasa mendengar itu. Saya contohnya, kalau ada orang maki saya pakai kata-kata kasar bukannya melawan saya akan nangis. Nangis karena orang tua saya saja nggak pernah memaki saya, ini orang lain kok tega-teganya.
Lagi-lagi apa yang orang tua tanamkan, ajarkan, berikan, akan berpengaruh besar kepada kehidupan seseorang.
source : belajar123.com |
Sekarang saya sudah bisa memandang lebih jauh ketika melihat anak yang dilabeli kata "nakal". Karakter tersebut pasti dibentuk salah satunya dari apa yang dia dapatkan di masa lalu.
Kalau ada yang bilang lingkungan juga berpengaruh, harusnya orang tua juga ikut andil dalam mengontrol pergaulannya. Bukan dengan mengekang, tapi bertanya siapa teman-temannya? sesekali undang teman-teman anak untuk main dan makan bersama. Ajarkan anak untuk minta izin setiap bepergian. Nasehati anak jika melihat ada pengaruh buruk dari lingkungannya.
Kita mungkin nggak bisa ada dua puluh empat jam untuk anak-anak kita. Tapi kita bisa menyisihkan satu-dua jam sehari untuk ngajak ngobrol dan tanya tentang kegiatannya. Dengan begitu anak akan selalu merasa bahwa sesibuk apapun dia dan orangtuanya mereka tetap ada satu sama lain.
Sebagaimana anak yang butuh banyak belajar dan adaptasi, kita orang tua juga harus belajar dan beradaptasi.
Kenakalan bukan suatu karakter, nakal hanya bentuk protes mereka dari kurangnya perhatian orang tua.
Gimana pendapat kalian tentang anak nakal? share di kolom komentar, ya.
Get notifications from this blog
setujuu.. pernah denger juga kalau kita jangan pernah ngasih label 'nakal' ke anak. karena nanti mereka justru yang mengidentikan label nakal itu ke diri mereka sendiri. kaya justifikasi lah kalo ngelakuin kesalahan..
ReplyDelete'aah, ngga apa gue bolos, toh gue emang anak nakal'
:(
benar bun, setuju saya, nakal bukan karakter tapi perilaku yang dipengaruhi oleh lingkungan, entah itu kurang perhatian dari lingkungan terkecilnya seperti keluarga, atau dari pergaulan dengan teman-temannya. thanks...
ReplyDeletePerhatian salah satu bentuk cinta baik kepada pasangan, anak, maupun orang sekitar. Semoga anak-anak mendapatkan perhatian penuh dari kedua orangtuanya.
ReplyDeleteNggak suka bgt sm anak nakal tp pas jd orang tua pun jd sadar kl anak nakal bukan krn dia ingin nakal tp krn dia sdg mencari perhatian orangtua wl pun hrs diomelin krn nakalnya tp buat anak2 yg penting ada saat orangtua itu memusatkan perhatian ke mrk...
ReplyDeleteAq sih mikirnya gitu mbak berdasarkan pengalaman dengan anakku
Ya Allah semoga kita senantiasa diberikan kemudahan dalam mendidik buah hati 💕 tfs mba
ReplyDeleteWah aku suka tulisan ini mbaaak... Aku setuju bahwa pembinaan karakter anak yang utama berasal dari dalam "rumah", dan orang tua termasuk orang terdekatnya adalah orang yang paling berpengaruh ke kehidupan mereka kelak.
ReplyDeleteDuh, saya seneng dapat gambaran seperti di Lapas Anak ini.Semoga kita selalu kompak mendidik anak ya mbak, menjadikan mereka generasi yang baik dan berbahagia :)
Bener mba, anak itu ga akan menjadi nakal kalo memang didikan ortunya bener. Kalo ortunya bener2 memperhatikan anaknya. . Sekali si anak ketangkap krn melakukan kenakalan, yg ditanya dulu pasti orgtuanya dulu ngajarin ga sih
ReplyDeleteMoga2 aku beneran bisa mendidik anak2ku supaya ga sampe berbuat nakal yg membahayakan org lain :(
baru tau gambaran di lapas anak seperti itu mba dan kasus2nya duh ini jadi PR banget yah buat saya sbg ortu bagaimana mendidik anak2 jangan sampe karena saya atau suami sibuk dg kerjaan anak2 kurang lerhatian dan mencari perhatian dg jalan salah naudzubillah makasi sharingnya mba
ReplyDeleteKasarnya, anak nakal itu ya bentukan orangtuanya juga ya mbak? Anak kan memang cerminan orangtua..Ini bener-bener nyentil saya loh, padahal saya belum menikah dan punya anak. Tapi pas baca ini saya jadi punya tekad kalau sudah punya anak nanti sebisa mungkin saya yang bentuk karakternya. Menjadi contoh yang baik untuk anak memang susah ya mbak? cuma harus tetap dicoba dan selalu diusahakan..terimakasih ya sudah sharing :)))
ReplyDeleteBener, anak nakal itu krn krg perhatian. Semoga aja bisa mendidik anak2 spy berakhlak baik
ReplyDeleteSetuju banget Mbak. Asli, ini inspiring. Seru juga ya Mba berkesempatan masuk dan terjun langsung ke dunia lapas anak. Sukses Mbak :)
ReplyDeleteHubungan gua dan almarhum bokap nggak kayak ayah dan anak, tapi kayak teman dan sahabat aja, gua sering cerita A Sam Z, Bokap selalu dengerin, nyokap juga sama hehe, intinya cara mereka menjadi ortu gua, membuat gua jadi seperti ini, absurd dan rada sedikit gila ckck
ReplyDeleteSharingnya bermanfaat sekali saya tersentuh. JAdi teguran lg buat sy mendidik anak dgn benar.
ReplyDeleteSatu lagi saya termasuk anak nakal yg ditulis diparagraf pertama. Kena bgt dan tepat nakal bukan krn keinginan karena faktor kurangnya perhatian, atau tdk bahagia dirumah.
wah... tugas mendidik anak itu memang tidak mudah ya. semoga kita semua selalu diberi kekuatan, kemauan dan kemampuan untuk mendidik anak-anak kita jadi anak baik, shalih dan membanggakan.
ReplyDeleteWah, kebablasan itu yang bahaya..
ReplyDeleteSama charger an kak, hahaha...
ReplyDeleteMantab nih artikel2 nya
ReplyDeleteWah bener banget ya mba, nakal itu menjadi salah satu bentuk protes ingin cari perhatian orang tua. Bisa jadi kita sebagai ortu kurang aware masalah ini. Makasih mba pengingatnya.
ReplyDeleteBiasanya yg saya lihat anak nakal selain karena kurang kasih sayang juga karena terlalu dimanja ortunya.
ReplyDeleteLingkungan sangat membentuk bagaimana karakter anak
ReplyDeletebisa jadi kurang perhatian, terlalu dimanja, atau keingintahuan yang tinggi
setiap anak punya keunikannya tersendiri
Kak Enny, quotes yang atas menampar saya pake banget.
ReplyDeleteThe kids who needs the most love Will ask for it in the most unloving ways.
Anak2 yg di LPKA udah persis kayak santri pesantren aja ya Mbak Enni.. bener banget anak yg dicap nakal itu karena butuh perhatian orang tua dan lingkungannya. mestinya menjadi tanggung jawab kita bersama ya
ReplyDeleteSetuju nggak kak kalau nakal karena dimanjakan oleh kakek dan neneknya? Sampai ortunya kayak nggak dianggap gitu. Sad but true...
ReplyDelete