Setujukah Jika Pelaku Pelanggaran Hukum Anak di Bawah Umur Masuk Lapas Anak/LPKA ?
Beberapa hari ini viral berita tentang kasus Audrey, anak SMP di Pontianak yang mengalami penganiayaan dari belasan anak SMA yang katanya dipicu masalah asmara. Saya rasa teman-teman mungkin sudah mengikuti beritanya ya.
Tentu saja berita tersebut memicu reaksi marah dari banyak pihak. Saya sendiri pas baca hati terasa sakit dan panas. Bayangkan jika itu menimpa anak/ponakan/saudara saya. Sudah pasti saya bakalan ngamuk dan langsung seret ke Polisi.
Nah, kasus ini bertambah heboh karena sempat ada penyampaian dari KPPAD (Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Daerah) Pontianak, sebagai lembaga yang menjadi mediator kasus ini , mengatakan bahwa berharap kasus ini tidak sampai ke ranah pengadilan. Karena baik pelaku dan korban sama-sama di bawah umur.
Hal tersebut lalu disuarakan seorang Netizen di twitter dengan akun @zianafazura dan kemudian diretweet ribuan orang, diangkat media online. Tentu saja selain mengecam pelaku, netizen juga mengecam sikap KPPAD Pontianak yang menyarankan untuk diselesaikan dengan cara damai. Padahal penganiayaan termasuk tindakan kriminal. Belum lagi mengingat kerugian fisik dan psikis yang dialami korban.
source : here |
Sayangnya, setelah hal tersebut viral, KPPAD Pontianak justru melaporkan si @zianafazura ke Polisi karena dianggap mencemarkan nama baik lembaga tersebut. Karena pada dasarnya KPPAD hanya menyarankan yang terbaik melihat dari sisi kedua belah pihak yang masih sama anak-anak, tetapi keputusan akhirnya menyerahkan pada keluarga.
Namun yang saya mau bahas kali ini, sebagai perempuan, ibu, dan juga petugas lapas yang pernah bekerja di Lapas Anak yang sekarang berganti nama menjadi LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak). Apakah melaporkan pelaku pelanggaran hukum yang di bawah umur dan memasukkannya ke LPKA akan memberikan efek jera atau dapat mengubah pelaku menjadi lebih baik? atau malah tambah menghancurkan masa depannya.
Sebelum kesimpulan diambil, saya bahas dulu ya gambaran kehidupan di LPKA itu seperti apa.
Bagi masyarakat awam kalau dengar kata "Lapas" atau masih sering disebut "penjara" biasanya identik dengan tempat yang menyeramkan. Jeruji besi dimana-mana, tembok tinggi dengan kawat-kawat tajam, serta petugas yang stand by berjaga 24 jam. Yap, itu memang benar.
Namun kalau ada yang beranggapan di dalam lapas khususnya LPKA, para penghuninya dikurung, disiksa, dimaki-maki, dikasih makan nasi kering, disuruh kerja nyangkul atau mecahin batu, kalian salah.
Sesuai namanya, LPKA adalah tempat PEMBINAAN bagi anak-anak yang bermasalah hukum. Kenapa negara memutuskan bahwa mereka yang melanggar hukum harus dibina? bukan disiksa agar jera? karena mereka adalah manusia yang punya hak-hak asasi. Mereka berhak diberi kesempatan kedua.
Jadi di LPKA itu, anak-anak diberi kegiatan bermanfaat dengan tujuan agar mereka menjadi pribadi yang lebih baik. Misalnya, subuh dibangunkan untuk sholat di kamar masing-masing. Sekitar pukul 08.00 WIB dikeluarkan dari kamar masing-masing untuk bersih-bersih atau piket kamar dan lingkungan blok. Kemudian makan pagi diantar oleh tamping dapur, dan mereka sarapan. Setelah itu ada kegiatan paket A/B/C, atau pengajian.
Siangnya wajib sholat dzuhur berjamaah dan sehabis itu diberikan makan siang. Kalau diantara mereka ada yang sakit, tinggal melapor ke petugas dan diantar ke klinik di dalam LPKA. Jika sakit parah dan nggak bisa ditangani perawat di LPKA, maka dirujuk ke RS dengan pengawalan tentunya.
Sorenya, akan ada kegiatan olahraga, voly atau sepak bola. Kemudian diantarkan lagi makanan untuk makan malam. Makanannya apa? nasi, lauk pauk, sayur. Pukul 17.00 WIB biasanya semua sudah harus masuk kamar, dan kamar dikunci kembali. Di malam hari, mereka bisa baca buku yang dipinjam di perpustakaan LPKA, menulis diary, beribadah, dan tidur.
Kalau hari-hari besar seperti hari besar keagamaan, hari besar kemerdekaan, akan ada acara di LPKA dimana mereka dilibatkan sebagai pengisi acara. Misalnya ada yang ngaji, ada yang puisi, dance, baris berbaris dan sebagainya. Tentu dengan dilatih dari jauh-jauh hari sebelumnya oleh petugas.
Sering juga ada kegiatan pelatihan atau motivasi dari pihak luar. Misal ngajarin melukis, ngajarin membatik, membuat kerajinan tangan, dan lain-lain. Di lapas juga ada program khusus bimbingan kerja. Jadi beberapa anak yang potensial dilatih ketrampilan khusus. Misalnya membuat kursi dan meja kayu.
Kegiatan di atas berdasarkan pengalaman saya bekerja di LPKA provinsi Jambi ya. Jika ada perbedaan kegiatan dengan LPKA lain wajar, karena program yang dijalankan bisa berbeda namun visi misinya tetap sama.
Banyak kan kegiatan mereka? mirip-mirip anak pesantren atau sekolah kedinasan gitu lah.
Terus kalau kelihatannya enak begitu, makan gratis, banyak fasilitas pembinaan, bagaimana bisa membuat efek jera?
Menurut saya dari proses dilaporkan ke polisi, diciduk, diproses untuk dimintai keterangan, ditahan di polres, sampai masuk ke lapas adalah "pukulan" awal yang dirasakan oleh para pelaku. Apalagi namanya anak-anak, mungkin melihat bapak-bapak berseragam coklat dengan suara berat juga sudah keder.
Tentu mereka punya bayangan seram tentang bagaimana mendekam dibalik jeruji besi. Apalagi kalau masih tahanan di polres, disana pembinaan bukan jadi kegiatan utama karena memang bukan fungsinya.
Namun ketika mereka sudah sampai di lapas, tugas kami seperti orang tua asuh yang menampung anak-anak yang sempat kehilangan pedoman hidup yang benar. Nggak ada tuh petugas mau berlaku kasar karena kita-kita juga takut dituntut melakukan pelanggaran HAM. Kita kan disini mau kerja cari duit, nggak mau nyari masalah.
Meskipun kalau tahu kasus mereka tuh rasanya keseeeeeel banget. Ada yang merkosa anak orang, sampai hamil, lalu anak tersebut (yang diperkosa) bunuh diri. Ada yang bunuh temannya dan dibuang ke sungai. Ada yang makek narkoba dan juga mengedarkannya. Ada juga yang jadi komplotan begal, dan sebagainya.
Rasanya pengen maki atau nampol juga sih. Kebayang jadi korban atau pihak keluarga korban. Pasti hati mereka teriris dan terpukul. Tapi lagi-lagi kami petugas nggak mau menjadi pelaku pelanggar HAM dan kami dibayar untuk membina, bukan untuk menghakimi.
Meski di dalam LPKA mereka dibina, tapi tentu saja ada hal yang bisa membuat mereka instropeksi atas kesalahan yang mereka lakukan yang telah merugikan orang lain, keluarga, dan dirinya sendiri.
Yaitu diasingkannya mereka dari keluarga dan masyarakat. Selain itu akses komunikasi mereka dibatasi, nggak boleh memiliki alat komunikasi. Tapi ada wartel di LPKA yang bisa digunakan untuk menghubungi keluarga namun tentu diawasi dan dibatasi.
Bayangin remaja yang lagi bergairahnya mencari jati diri, tiba-tiba hidupnya serba dibatasi, terkungkung di balik jeruji besi dan tembok tinggi. Mereka diasingkan, jauh dari hiruk pikuk dunia luar. Media sosial? selamat tinggal ratusan likes dan comment yang biasa mereka dapatkan.
Pergaulan? percayalah kalau teman-teman mereka membesuk biasanya hanya diawal-awal masa pembinaan. Tapi seterusnya? yang datang cuma keluarga. Itupun tidak setiap hari. Disini mereka akan belajar bahwa ratusan teman yang dia punya waktu di luar ternyata bukan teman sejati yang menemani disaat diri tersandung masalah.
Pendidikan? mungkin di dalam LPKA masih diberikan pendidikan paket. Tapi tentu fasilitasnya berbeda dengan apa yang mereka dapatkan dulu di luar. Disinilah mungkin mereka akan menyesal karena dulu pernah membolos atau merutuki guru yang membosankan.
Keluarga? mungkin satu-satunya pihak yang tetap ada untuk mereka adalah keluarga. Itupun bisa jadi berkurang jumlahnya. Tante? Om? Sepupu? masihkah mau mengakui? karena sejatinya hanya ayah ibu lah yang meski muka mereka sudah dicoreng, tetapi masih setia mengunjungi. Rasanya setiap anak wajib membahagiakan orang tua, namun sebaliknya mereka menggoreskan kekecewaan mendalam pada hati orang tua mereka atas apa yang mereka lakukan.
Masyarakat? Jadi omongan sudah pasti. Belum lagi kalau kasusnya heboh di media sosial. Jejak digital akan selalu kekal. Dikucilkan, dihina, disumpah serapahi, rasanya sudah menjadi sanksi sosial.
Namun dibalik rasa keterasingan itu, disinilah mereka berkesempatan untuk mengakui kesalahan, merenungkannya, dan mulai berbenah diri. Petugas-petugas di LPKA akan siap membantu dengan cara memberikan fasilitas pembinaan, menampung keluh kesah dan cerita, serta memberikan nasihat.
Saya dulu sering jadi Uztadzah atau motivator dadakan. Rasanya kayak paham banget deh sama solusi semua masalah, padahal saya cuma berusaha sebaik mungkin (dan berpikir keras). Bagaimanapun juga saat mereka di dalam lapas, mereka hanya "bergantung" kepada para petugas.
Jadi, apakah saya setuju kalau remaja yang melakukan kenakalan di luar batas dan masuk tindakan kriminal diproses melalui jalur hukum?
Jawabannya ya.
Dari setiap kejadian akan ada yang dirugikan, diuntungkan, atau dua-duanya merugi. Kita bisa menilik kasus penganiayaan Audrey. Dari berita yang saya baca, konflik terjadi karena baik pelaku dan korban sama-sama saling sindir masalah asmara di media sosial.
Berangkat dari aksi sindiran tersebut, pelaku mengajak korban bertemu di tempat yang sepi. Kemudian terjadi perkelahian. Sayangnya korban sendirian sedangkan pelaku bersama teman-temannya. Sehingga terjadi pengeroyokan yang kabarnya bahkan sampai ke bagian kemaluan.
source: Pixabay |
Kita anggaplah untuk pemicu masalah, dua-duanya bersalah. Namun sampai kepada kekerasan fisik tentu korban harus dibela dan dilindungi. Pelaku? harus diberi pelajaran.
Kembali lagi kita melihat bahwa kedua pihak yang masih di bawah umur yang notabene masih dalam pengawasan orang tua. Pertanyaannya bagaimana pendidikan yang mereka dapat di rumah? sehingga anak umur belasan sanggup menganiaya temannya (juniornya). Kalau memang akarnya bukan dari rumah, apakah orangtuanya jarang melakukan kontrol atas lingkungan pergaulan anaknya?
Kita bisa bilang anak-anak tersebut sudah remaja setidaknya bisa membedakan mana yang salah mana yang benar apalagi soal kekerasan. Tapi kalau ternyata mereka mendapat didikan dan lingkungan yang salah, bisa jadi yang mereka lakukan mereka anggap benar. Karena mereka nggak punya panutan untuk membedakan mana yang benar mana yang salah.
Selain itu dengan "mengasingkan" mereka di LPKA bisa mengurangi resiko akan ada dendam dari orang-orang yang merasa kesal akan kasus tersebut. Contohnya kasus penganiayaan Audrey ini. Di media sosial manapun mereka dicaci maki oleh netizen. Nggak menutup kemungkinan jika mereka masih bebas ada yang langsung menyakiti mereka baik secara verbal ataupun fisik (semoga jangan ya).
Kalau sudah begitu, mengirim mereka ke LPKA adalah salah satu pilihan yang bijak. Mengingat LPKA adalah lembaga yang akan MEMBANTU membina anak tersebut dengan lebih fokus tanpa ada distraksi pihak luar, terutama lingkungan yang lama.
Saya sengaja membesarkan tulisan membantunya ya, jadi pihak keluarga jangan berharap sim salabim prilaku anaknya berubah langsung jadi baik nan sholeh ketika keluar LPKA kalau tidak didukung penuh pihak keluarga dan pembinaan tidak diteruskan ketika mereka keluar kelak. Namun perubahan itu pasti ada. Tinggal bagaimana keluarga bisa memberikan dukungan untuk mempertahankannya.
"Tapi kalau di dalam LPKA mereka malah tertular kenakalan dari anak-anak lain yang kasusnya lebih parah, gimana?"
Semua anak disana itu dibina, tanpa memandang latar belakang kasusnya. Mereka ditempatkan beberapa orang dalam satu kamar tentu juga diawasi. Jika terjadi ketidak cocokan, tentu akan ditegur dan diberikan solusi (pisah kamar).
Cuma nih ya, selama saya di lapas kadang tuh suka membatin sendiri "ini beneran ya anak-anak ini tega berbuat sejahat itu waktu mereka di luar? dari mukanya kelihatan polos banget. Kelakuannya juga baik, nurut, dan rajin".
Usut punya usut rata-rata dari mereka sulit membedakan mana yang benar mana yang salah karena memang tidak pernah diajarkan. Dalam artian mereka dibesarkan dari keluarga yang berantakan, keluarga yang cuek, atau keluarga yang juga suka melanggar hukum. Jadi bagai buah yang tak jauh dari pohonnya, maka begitulah mereka berbuat.
Sedangkan di LPKA, kuping mereka bakalan panas dinasehatin setiap hari. Diteriakin harus disiplin. Kalau nggak mau ikut pembinaan maka ada sanksi. Tapi kalau rajin maka akan ada reward. Selalu diingatkan bahwa disinilah tempat mereka untuk instropeksi diri. Diingatkan bahwa manusia berhak dapat kesempatan kedua. Diingatkan bahwa Allah SWT itu Maha pengampun.
Setiap ada yang bebas dan pamit ke saya, saya selalu berpesan. "Kita jangan ketemu disini lagi ya". Dalam artian jangan sampai dia mengulangi lagi kesalahannya atau berbuat kesalahan pelanggaran hukum baru yang mengharuskan kami bertemu lagi di LPKA.
Dari kasus penganiayaan Audrey ini saya juga banyak merenung terutama tentang pola pengasuhan saya sebagai orang tua. Tentu saya nggak ingin ada Audrey-Audrey lainnya. Terutama pada anak-anak saya. Namun selain tidak ingin anak saya menjadi korban, saya juga harus berusaha agar anak saya tidak menjadi pelaku.
Menjadi orang tua amanahnya berat sekali. Pekerjaan rumah yang besar untuk konsisten memberikan contoh yang baik agar anak bisa berprilaku yang baik pula. Bagaimanapun saya manusia yang bisa khilaf dan berbuat salah. Semoga kekhilafan itu nggak sering dan nggak ditiru.
Terakhir saya rasa nggak perlulah membully pelaku dengan kata-kata kasar yang rasanya tidak pantas pula didengar atau dibaca orang lain. Kalau kita membenci perilaku bullying jadi tidak perlu melakukan hal yang sama.
Kita yang membaca beritanya tentu ada perasaan marah, dan mengecam sikap pelaku. Tapi hal tersebut bisa disikapi dengan cara menyemangati korban, menandatangani petisi agar kasus ini terus dikawal sampai ke ranah hukum, dan juga mengkampanyekan tentang buruknya dampak bullying.
Semoga tulisan ini bisa memberikan pemahaman baru bagi teman-teman semua dalam menyikapi tindakan pelanggaran hukum yang bisa dilakukan anak-anak. Terutama gambaran keadaan anak-anak bermasalah hukum di dalam LPKA.
Kita do'akan semoga Audrey dan siapapun yang pernah menjadi korban bully bisa segera pulih baik secara fisik dan psikis, walau memang butuh waktu. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang amanah yang menjaga anak kita dari hal-hal buruk. Amiiin.
Ada yang mau ditanyakan tentang LPKA? atau mau cerita tentang pengalaman bullying? Silahkan cerita di kolom komentar ya.
Get notifications from this blog
Bagus sekali ulasannya.. semoga para pelaku juga mendapatkan kesempatan untuk introspeksi diri di LPKA
ReplyDeleteWah macam di pesantren ya mba bedanya lebih terkungkung saja, untuk kasus ini juga hati ibu mana yang tidak sakit jika anaknya dibegitukan mba hehehe
ReplyDeletekasus ini sampe di up presiden the power of medsos dan netizen yang terus2an komen yak semoga bisa terselesaikan sesuai dengan keadilan
Nice post kak.
ReplyDeleteSemua pernyataannya memang benar. Namun ada juga penambahan sikap pelaku yang banyak membuat netizen geram selain tindak bully-nya dan disamping mereka yang menghujat pelaku juga, yaitu sikap seperti acuh tak acuh saat pertama kali dibawa ke kantor untuk diproses dengan membuat postingan di media sosialnya. Mungkin memang benar sang pelaku juga selain diberikan efek jera, harus diberikan pembinaan agar hidup ke depannya lebih baik.
Kusukaaahhh baca ini, lebih faedah ketimbang cuman menghujat wakakakakak.
ReplyDeleteDan ngakak baca part orang di penjara disuruh mecahin batu, semacam nonton film yak, penyiksaan napi di penjara :D
Saya kayaknya kurang getol nyari info nih, gak tau kalau ada aksi pelaporan lagi, jadi makin panjang ya kasusnya.
Meskipun saya juga memberi aplaus pada netizen yang zaman sekarang ibarat hakim (kalau pas dihakimin sih oke, misal kasus korupsi yang dulu kayak drama sinetron), tapi penghakiman dari berita viral ini, sungguh jadi gak lucu lagi karena jadi melebar ke mana-mana.
Dan saya juga setuju, seandainya sudah terbukti bersalah, lakukan apa yang seharusnya dilakukan, masukan ke penjara anak-anak.
Saya rasa, negara tidak membuang uang begitu saja untuk mengadakan penjara anak-anak, hanya untuk hal-hal yang gak ada manfaatnya.
Dan ternyata terbukti dari pengalaman bekerja mba Enny :D
Duh, Mba, dari kemarin saya miris banget baca berita ini, apalagi setelah baca-baca soal pelaku yang masih ngeyel ketika udah disindir-sindir netizen. Kasus ini membuatku sebagai orangtua instropeksi diri lagi, sih, mau nggak mau orangtua pasti pihak yang disalahkan lebih dulu atas perbuatan anaknya. Nggak mungkin lah si anak bisa berbuat semena-mena kalo bukan kurangnya didikan atau ajaran dari rumah.
ReplyDeleteSaya termasuk PRO banget kalo pelaku pelanggaran hukum di bawah umur masuk LPKA, semoga pihak-pihak berwenang yang ada di Pontianak bisa baca artikel ini nih. Bukan cuma soal bikin anak jera, setidaknya mereka juga bisa dapet pengajaran yang layak seperti Mba bilang. Lah kalo disuruh damai, minta maaf di depan press sambil nangis-nangis, emang dijamin nggak begitu lagi?
Btw, makasih banyak Mba untuk sharing-nya. Saya ngetiknya sampe emosiii hahahaha
aku kalo mendengar kata "lapas" bayangannya udah serem aja. tapi ternyata gak seseram itu ya karena banyak banget pembinaan dan kegiatan2 yang bermanfaat, khususnya di LPKA..
ReplyDeleteaku setuju sih kalo anak2 yang ngelakuin pelanggaran hukum harus dikurung di LPKA supaya jera dan dan dapat pembinaan juga..
Hai Kak...
ReplyDeleteSaya belum menjadi orang tua namun saya memiliki banyak murid yang membuat saya merasa harus siap menjadi orang tua.
Menjadi orang tua harus siap lahir dan batin.
Siap untuk mendidik anak-anak baik secara internal maupun eksternal.
Maka, memang peran orang tua yang paling terpenting dalam hal mendidik anak-anak. Semoga orang tua selalu menjaga amanah mereka dalam mendidik anak-anak, agar tidak ada lagi Audrey-Audrey lainnya.
Oh ya... saya sependapat dengan Kakak. Kalimat ini juga mendukung sekali "Nggak menutup kemungkinan jika mereka masih bebas ada yang langsung menyakiti mereka baik secara verbal ataupun fisik (semoga jangan ya)."
Saya rasa lebih baik mereka ke LKPA untuk melindungi dan membina mereka karena netizen tidak semua memiliki pikiran tetap jernih. Bahkan saat ini, tidak sedikit netizen yang juga memberi hujatan dengan kata-kata kotor. Mereka melakukan untuk bully balas bully. Apakah hal ini akan menyelesaikan masalah? Tidak! Masih akan ada Audrey-Audrey lain.
Saya yakin hukum Indonesia mampu bertindak dengan baik.
soal membuli dan dibuli....sedih banget...apalagi buat anak-anak, dampaknya sangat jelek, seperti yang terjadi ini, ke arah criminal...bener kata orang-orang bahwa bullying is killing our kids, jadi kita harus selamatkan anak-anak kita apakah ia dibully atau membully karena didully dan pembully sama-sama SAKIT
ReplyDeleteHmm saya pertama kali membaca berita tentang Audrey, sangat kaget dan merinding
ReplyDeleteTrimakasih mbak udh sharing artikel yg bermanfaat apalagi dari pengalaman langsung menangani kasus2 kriminal anak2 dan cara membina mereka menjadi baik dan setelah keluar bisa berbaur dg masyarakat seperti semua dan tidak menjadikan beban sosial.
ReplyDeleteEntahlah Mba, aku merasa anak-anak sekarang itu udah ga kena yang namanya malu, keder, takut atau apalah namanya. Mereka ga kena dimarah, apalagi banyak kasus yang akhirnya, makin viral makin terkenal dan diberikan penghargaan apa gitu. tapi tetap secara noramtif kita harus tegakkan aturan hukum yang ada
ReplyDeleteAku nggak ngikutin banget kasus ini bun. Aku nggak sanggup. Inget anak sendiri diperlakukan seperti itu. Huhuhu
ReplyDeleteHalo teteh cantik...he-he, untuk bullying ada baiknya pelakunya langsung saja di jebloskan ke penjara,bukan yanpa alasan agar mereka menjadi jera,menurut saya secara pribadi mau tia atau muda sana saja, bahkan kejahatan yang muda lebih berbahaya dari yang tua, untuk itulah sebenarnya benih bullying itu harus dimusnahkan sampai ke akar-akarnya, dengan cara di sel di jeruji besi,jika sudah begitu pasti kapok dan yang lainnya juga enggak bakalan berani berbuat hal yang sama, begitupun pemerintah haruslah tegas, kalau enggak berani ada baiknya mundur saja dari jabatannya...sini buar saya saja yang menggantikan..he-he,itu aja sih teh cantik menurut saya tentang kasus bullying ini, oh iya teh cantik hampir lupa perkenslkan saya kuanyu, blogger kota pangkal pinang, kslau tetah ada waktu bolehlah mengunjungi blog saya he-he 😀
ReplyDeleteserem deh liat anak-anak jaman sekarang :D
ReplyDeleteMecahin batu itu monoton sekali yak, seperti di film barat, hahaha... Kenapa ya mba, sekarang namanya berubah, dari penjara menjadi lapas?! Tapi kalo lapas orang dewasa apakah sama seperti LPKA? Atau berbeda...
ReplyDeleteCeritanya ditulis secara runut mb enny, menarik banget dibacanya
ReplyDeleteJadi tau kebiasaan anak anak lp itunya macam kayak sekolah gitu ya kegiatannya, rutin sampai makannya pun lengkap nasi sayur lauk
Klonkasus dg tagar di atas, jujur aku nda gitu ngikutin, takutbsalah klo komen hehehe #maklum awak awam hukum
Tp klo pengalaman bullying akunsering bahkan kayaknya hampirbselalu deh di tiap fase sekolah, mulai dari tk, sd, smp, bahkan sma, alasannya karena aku nda mau nyontekin teman waktu un, trus diomongin pelit hahhahaha
Ulasannya bagus banget mbak... jadi memperluas sudut pandang saya soal kasus AY itu biar gak buru-buru kemakan narasi media yang banyak beredar di sosmed.
ReplyDeleteSaya mendapat pandangan baru soal kasus kasus seperti Audrey ini. Karena di social media netizen lebih banyak yang kontra terhadap pembinaan pelaku di LPKA
ReplyDeletesaya pun lebih setuju kalau ada kasus anak sebaiknya dimasukan LPKA,, toh di sana juga dibina kan.. malah kalau cuma perjanjian damai takutnya ga ada efek jera trs mengulangi lagi..
ReplyDelete-Traveler Paruh Waktu
wah aku jadi tau kehidupan di dalam LPKA. Aku sendiri sangat setuju pelaku kekerasan harus diberi sanksi hukum dan setelah membaca ini aku semakin yakin bahwa hukuman yang diberikan ke pelaku juga harus memanusiakan manusia, bukan sebaliknya. Aku jadi miris dengan banyaknya komentar-komentar yang bersifat bully ke pelaku.
ReplyDeleteini jadi flashback sama tugas suami pertama kali, dia juga di lapas anak istanbul, jauh lbh stress dibanding lapas dewasa, kasusnya jg macam2 mba en, kasus inses adik kakak-.-' kasus narkoba yg paling banyak. disini dilarang dipublikasikan isi lapas, bisa kena pasal. apalagi wajah anak2 penghuni lapas, wajid di blurr dan terlarang beredar disosmed, melindungi privacy mereka. untuk kasus2 yg dilakukan remaja, saya tetap setuju mereka dibina.apalagi di Lapas anak kan bebas sosmed, jadi shock therapy, kasus audrey ini terlanjur viral dan ternyata kedua pihaknya emang bermasalah.
ReplyDelete