Bersama Tapi Tak Bahagia
Setiap pasangan yang menikah pasti ingin bahagia, tapi jalan hidup nggak ada yang tahu, kan? Apa lagi sering kali setelah menikah, seluruh sifat asli pasangan dan keluarganya akan terbuka.
Bisa jadi hal itu membuat kita menjadi nggak nyaman dan sadar, bahwa kita nggak cocok dengan sifat-sifat tersebut.
Terus kalau pernikahan yang dijalani nggak bikin bahagia, kenapa terus-terusan mempertahankannya?
Bertahan Demi Anak
Salah satu alasan paling banyak dari yang saya ketahui tentang pasangan yang sebenarnya sudah nggak bahagia bersama, tapi tetap bertahan, itu adalah karena anak.
Ya, sulit bagi mereka untuk berpisah karena takut anak akan menanggung semua akibatnya.
Takut anak akan dapat cap sebagai anak broken home, takut anak akan kehilangan salah satu sosok figur orang tuanya, takut anak di-bully, dan sebagainya.
Pertimbangan demi anak ini akan semakin kuat apabila anak masih kecil dan belum memahami apa yang terjadi dengan orang tuanya.
Namun satu hal yang mengusik saya, jika suami-istri bertahan demi anak padahal masing-masing tahu sudah nggak saling cocok dan akan terus saling menyakiti, pernahkan mereka berpikir seandainya anak mereka bisa "speak up" mungkin mereka lebih mendukung ayah ibunya untuk berpisah?
Seandainya Anak Mampu Mengungkapkan Isi Hatinya
Jika anak bisa mengungkapkan isi hatinya, bisa jadi mereka hanya ingin orang tuanya berdamai dengan keadaan dan mencari kebahagiaan masing-masing.
Dibanding ayah ibunya masih tinggal di bawah atap yang sama namun yang anak lihat hanyalah pertengkaran, lontaran kalimat-kalimat cacian, atau bahkan mungkin ayunan tangan yang menyakitkan, bukankah hal itu hanya akan menyakiti mental sang anak?
Sekalipun anak masih balita. Justru pada masa-masa itu anak menyerap apa yang dia lihat dan dengar bagaikan spons menyerap air. Begitu cepat meresap dan akan meninggalkan bekas yang lama.
Lalu apakah itu bisa dikatakan bertahan demi kebaikan anak?
Menjadi orang tua itu memang berat. Kita nggak bisa hanya hadir secara raga, namun juga sepenuh hati dan jiwa.
Jika yang anak lihat hanyalah raga ayah dan ibunya yang bersama, namun nggak ada lagi kehangatan di antara mereka, apakah anak bisa merasakan figur orang tua yang sesungguhnya?
Perpisahan Bisa Menjadi Keputusan Terbaik
Pertanyaan-pertanyaan di atas terus mengusik saya dan akhirnya membuat saya berani untuk bertanya ke sahabat saya yang pernah mengalami menjadi anak yang orang tuanya bercerai.
Salah satu sahabat saya bilang, masa kecilnya justru dihiasi dengan ingatan buruk tentang pertengkaran orang tuanya.
Saat ayah dan ibunya bercerai, dia memang sempat sedih dan merasa orang tuanya egois. Besar harapannya orang tuanya bisa rujuk lagi. Tapi kenyataannya ayah dan ibunya justru mendapatkan pasangan baru.
Lama kelamaan sahabat saya menyadari ternyata itu memang merupakan keputusan yang terbaik.
Dia paham bahwa karakter ayah dan ibunya memang berbenturan dan nggak akan cocok untuk hidup bersama.
Setelah orangtuanya masing-masing menikah lagi, sahabat saya justru merasa mendapatkan lebih banyak keluarga baru yang syukurnya baik terhadap dia.
Jadi jika dia dihadapkan dengan pertanyaan "bertahan demi anak tapi nggak bahagia, atau bercerai saja demi kedamaian masing-masing dan kesehatan mental anak?" dia dengan mantap memilih pilihan kedua.
Saya pribadi pun akan memilih hal yang sama. Saya bahkan sudah pernah mendiskusikannya dengan suami.
"Jangan Anggap Aku Hanya Sebagai Partner Mengasuh Anak"
Saya bilang, saya mungkin akan menyerah jika suatu saat nanti dia hanya menganggap saya sebagai partner untuk mengasuh anak saja.
Bagi saya itu sangat menyakitkan. Karena saya mau dia anggap saya sebagai kekasih. Karena itu yang dari awal kita jalani setelah menikah. Soal anak, benar-benar kuasa Allah, kita nggak bisa memilih kapan Dia memberikan kita amanah itu.
Jadi jika hanya sebatas menjadi partner mengasuh anak, itu pun bisa dilakukan meski nggak tinggal bersama.
That's why sebagai pasangan kita selalu butuh penyegaran, agar tahu bahwa kita bersama bukan hanya karena anak semata tapi karena dari awal kita saling cinta, saling membutuhkan satu sama lain sebagai sepasang kekasih.
Lalu saya juga pernah tanya ke suami, memilih bertahan demi anak tapi nggak bahagia bersama pasangan, atau memilih berpisah saja? Dia jawab "aku pilih memperbaiki hubungan bersama pasangan dan mempertahankan semuanya". Saya tersenyum mendengarkan jawaban bijaknya.
Perceraian Adalah Pilihan Solusi Terakhir
Ya, ketika saya menulis lebih baik berpisah daripada nggak bahagia itu bukanlah jalan yang langsung diambil saat kita dan pasangan memiliki masalah.
Maksud saya adalah, jika memang sudah melakukan banyak cara untuk memperbaiki hubungan dengan pasangan tapi nggak ketemu juga solusinya, yang ada pertengkaran terus menerus, hati yang selalu tersakiti, bahagia yang susah diraih, bukankah lebih baik berpisah?
Everyone deserves to be happy. Termasuk pasangan kita, anak kita, dan yang paling utama: diri kita sendiri.
Jadi jangan sampai salah ambil keputusan, bertahan nggak selalu selamanya baik, dan berpisah nggak selamanya buruk. Hidup cuma sekali, please jalani dengan bahagia.
Jangan biarkan diri kita terjebak dalam hubungan toxic yang terus menggegorogoti hati dan pikiran sampai kita merasa bahwa takdir yang memaksa kita untuk terus menderita.
Get notifications from this blog
sedih deh mba bacanya, apalgi sekarang lagi ramai juga sama berita perceraian banyak orang yah
ReplyDeleteIya mbak, kita bisa belajar dari pengalaman orang lain ^^
Deleteyak betul, setuju, setiap masalah pasti ada solusinya.. walaupun itu pait kek pare, tapi tetap enak kalo dikasi kuah kacang..
ReplyDeleteNggak, nggak bisa. Soalnya pas di mulut, kuah kacangnya ketelan duluan tinggal parenya kegigit tetep paiiit. Hahahha
Deletembak enny, baru seminggu lalu aku bercerita sama sohib soal tema ini.
ReplyDeletedan persis menurutku, kebanyakan ibu ibu yang sudah punya anak, enggan pisah sama suaminya karena alasan pertama adalah karena ada anak. tapi anak dihadapkan juga dengan pemandangan pertengkaran mungkin.
sama aja nanti si anak akan terbayang bayang sampe gede, yang mungkin akan menggangu kondisi jiwanya juga kan
Nah itu maksud saya mbak, jangan sampai niat "demi anak" justru mengorbankan anak itu sendiri. Bahagia itu kan nggak hanya satu jalannya.
Delete