Dua Mata Pisau Media Sosial
Sejak kenal internet saya memang tertarik dengan media sosial atau apapun wadah dunia maya yang bisa menambah pertemanan.
Waktu SMP sih saya nyobanya Yahoo Messenger, terus naik ke Friendster, pernah juga main MIRC, booming Facebook ya bikin juga. Begitu juga dengan BBM, Instagram, Path, dan Twitter.
Saya menemukan candu tersendiri dengan aneka ragam media sosial ini. Rasanya saya bisa mengekspresikan diri lebih banyak dan jangkauannya lebih luas dibanding di kehidupan nyata.
Punya teman di dunia maya juga gampang banget, tinggal klik-klik, lihat-lihat foto, mulai saling sapa dan ngobrol.
Memanfaatkan Media Sosial Untuk Kegiatan Positif
Bukan cuma wadah buat cari teman, saya juga mencoba memanfaatkan media sosial dengan baik. Dulu waktu masih kuliah saya suka ikut organisasi dan juga komunitas sosial. Cara saya menemukan teman-teman yang punya minat sama ya dengan media sosial tadi.
Kalau lagi ada penggalangan dana atau promosi event juga lewat media sosial. Seru banget rasanya dari media sosial saya ketemu teman-teman yang minatnya sama lalu kita bikin kegiatan bermanfaat bareng-bareng.
Pernah juga karena butuh uang jajan lebih, tapi nggak enak minta terus sama orang tua, saya jualan online lewat Facebook dan BBM. Lumayan banget hasilnya buat beli tiket bioskop atau jajan di KFC. Saya juga jadi belajar komunikasi yang baik karena harus melayani chat para pembeli.
Setelah menikah dan punya anak pun saya memanfaatkan media sosial untuk review produk, sharing pengalaman, berkomunitas lagi, dan akhirnya saya mulai merasakan manfaatnya dapat uang dari endorsement. Sesuatu yang dulunya nggak pernah saya sangka. Soalnya siapa saya, kan? Tapi ternyata ada aja jalannya.
Bukan hanya materi, ada kepuasan pribadi ketika ada pesan yang masuk lewat DM atau email yang bilang kalau postingan saya bermanfaat, dan informatif bagi mereka. Duh, senang rasanya bisa bantu orang meski dari balik layar ponsel.
Namun seperti dua mata pisau, saya juga merasakan hal yang nggak enak dari bermain media sosial.
Kena Mental Karena Komentar Orang di Media Sosial
Layaknya orang-orang pada umumnya, saya juga sharing tentang siapa saya di media sosial. Nama, domisili, dan pekerjaan. Karena saya bangga dengan apa yang saya punya dan saya raih.
Tapi saya lupa kalau akan ada resikonya dari membagikan hal pribadi di media sosial. Ada orang yang nggak sependapat dengan saya tapi kemudian membawa-bawa latar belakang saya, instansi tempat saya bekerja.
Saya pengen marah rasanya karena orang tersebut membawa hal yang nggak ada kaitannya dengan topik yang sedang saya bicarakan. Hanya saja saya juga sadar, itu bagian dari resiko karena saya mencantumkan latar belakang pekerjaan saya di medsos.
Belum lagi komentar yang kaitannya dengan keluarga saya, anak saya, suami saya. Itu membuat saya kepikiran terus. Padahal niat saya hanya ingin berbagi momen menyenangkan bersama keluarga, eh malah dapat komentar nggak enak yang akhirnya mengurangi rasa bahagia momennya tadi.
Media Sosial Bisa Merusak Suasana Hati
Selain kena mental, saya juga pernah merasa sedih dan depresi dengan melihat postingan orang di media sosial. Misalnya saat dulu saya kesulitan keuangan, lalu melihat orang posting yang mewah-mewah, ada rasa sedih kenapa hidup saya nggak seberuntung orang tersebut.
Ketika saya menghabiskan akhir minggu di rumah saja, ada rasa kesal karena melihat orang posting liburan.
Mereka nggak salah, saya yang nggak bisa menguasai mood saya sendiri. Kalau begitu biasanya saya akan langsung menutup media sosial.
Media Sosial Bisa Menambah dan Mengurangi Ikatan Pertemanan
Memang benar kalau dengan media sosial kita tetap bisa tahu update kegiatan teman-teman kita meski sudah terpisah jarak dan punya kesibukan masing-masing.
Dengan teman-teman yang masih ketemu di real life juga kita bisa kenal lebih dekat dari apa yang sering dia posting di media sosial.
Rasanya media sosial akan mempermudah kita untuk mempererat jalinan pertemanan yang sudah ada.
Namun semakin lama saya justru merasakan yang sebaliknya. Media sosial justru mengurangi esensi pertemanan yang menyenangkan.
Misalnya dengan teman yang dulu sering banyak ngobrol, tapi sekarang hanya menjadi penonton insta story. Mau ditanyain apa lagi karena dari situ kita sudah tahu dia dan keluarganya sehat, anaknya berapa, tinggalnya dimana, kegiatan sehari-harinya apa, dan sebagainya.
Saling like dan berkomentar di setiap postingan mungkin terasa akrab tapi justru menghilangkan asyiknya ngobrol yang beneran ngobrol antar teman.
Saya kangen bertukar kabar dengan teman yang beneran tukar kabar, ngobrol lama, kerasa banget kepeduliannya satu sama lain, bukan hanya dengan yang "cepet sembuh yaa" ketika update postingan sakit atau "hbd ya semoga bla bla" ketika update postingan ulang tahun.
Mungkin banyak yang nggak sependapat dengan saya. Tapi itulah yang saya rasakan.
Saya juga sempat nonton beberapa vlog public figur yang nggak pakai media sosial, dan ketika ditanya bagaimana cara menjaga pertemanan kalau nggak ada media sosial, mereka menjawab masih ada telpon, masih ada chat, masih ada pertemuan, itu lebih bermakna dari sekedal like, komentar, dm di media sosial.
Media Sosial Kerap Menimbulkan Asumsi yang Belum Tentu Benar
Saya kaget banget ketika dapat omongan nggak enak hanya karena mereka menilai dari apa yang saya upload di media sosial. Saya heran kenapa orang bisa berasumsi hanya dari apa yang dia lihat di media sosial?
Tapi saya coba refleksikan diri, mungkin saya juga seperti itu. Karena media sosial ini seolah memberikan gambaran kehidupan seseorang seutuhnya, padahal hanya sepotong-sepotong saja.
Saya masih bisa menahan diri jika yang diasumsikan nggak enak itu hanya terkait saya pribadi, tapi saya gelisah kalau sudah dikaitkan dengan orang di sekitar saya.
Hal itu membuat saya over thinking. Misalnya hanya update selfie atau foto makanan, bukannya senang tapi malah cemas karena takut ada asumsi apa lagi setelah saya posting. Apa kah saya akan diomongin alay? Apa saya akan dikatain istri yang nggak pinter masak hanya karena sering upload makanan yang dibeli dari luar?
Ah, niatnya mau mengabadikan kenangan tapi malah nambah-nambah pikiran.
Saya seperti itu karena sudah beberapa kali mendapatkan komentar dan asumsi nggak enak. Menyedihkannya lagi itu datang dari orang yang kenal saya, tapi memang nggak terlalu dekat. Hanya saja kan, karena dia kenal saya di kehidupan nyata harusnya bisa dong konfirmasi langsung, jangan berasumsi ini itu. Cuma saya sadar, orang yang nggak terlalu dekat biasanya seperti itu, dia sadar dia bukan teman dekat jadi untuk sekedar nanya langsung juga nggak berani, tapi berani berasumsi.
Salah saya adalah membiarkan "orang yang nggak terlalu dekat" itu mengetahui update kehidupan saya dari media sosial.
Pernah Kepikiran Hapus Semua Medsos
Banyak banget yang sharing kalau mengurangi atau menghapus semua media sosial justru membuat hidupnya lebih tenang. Nggak banyak kepikiran hal-hal yang memang sepatutnya nggak perlu dipikirkan.
Saya ingin seperti itu juga rasanya. Karena syukurnya juga saya punya pekerjaan utama sehingga nggak terlalu menggantungkan income dari media sosial.
Dua Mata Pisau Media Sosial
Tapi, seperti dua mata pisau saya juga bisa merasakan manfaat dari media sosial ini. Seperti apa yang sudah saya tulis di atas. Manfaatnya pun terasa dua arah, bagi saya yang memposting, dan bagi mereka yang melihat postingan saya.
Jadi, alih-alih menghapus media sosial saya berusaha memilah lagi apa yang harusnya saya bagikan di medsos dan yang perlu saya simpan saja sendiri.
Kedepannya saya berusaha update yang berupa konten informatif. Kalau hanya sekedar selfie, ungkapan isi hati, biarlah cukup ada di galeri. Sekalipun saya ingin mengungkapkan isi hati, saya akan menulis panjang di blog seperti ini agar lebih jelas dan yang membaca bisa lebih bijak menanggapi, bukan hanya berasumsi dari postingan yang sepotong-sepotong saja.
Saya juga sudah sepakat dengan suami untuk mengurangi postingan yang kaitannya dengan keluarga. Bukan berarti saya nggak bangga dengan memiliki mereka, tapi justru karena saya nggak mau mereka kena imbasnya dari komentar orang nggak bertanggung jawab di dunia maya.
Bahkan ketika second account saya yang sebelumnya berisi teman-teman yang menurut saya dapat dipercaya, malah di-hack, saya justru lega. Karena itu artinya memang saya harus berhenti berbagi tentang kehidupan pribadi saya.
Biarlah teman-teman mengenal saya lebih dekat secara langsung, seutuhnya, dari kehidupan nyata. Kalau pun kita berjauhan, masih ada akses lainnya untuk ngobrol panjang dan personal, bukan cuma sapaan sekedarnya di media sosial.
Beberapa hari ini tanpa second account itu, dan mulai jarang update wa story (itu pun wa story saya hanya 20an saja yang bisa melihat), rasanya memang lebih tenang. Nggak ada perasaan over thinking karena over sharing.
Bukan berarti juga saya nggak jadi diri sendiri, saya tetap suka selfie, foto apa aja yang saya makan, atau sesuatu yang terlihat cantik untuk difoto, tapi saya biarkan saja itu ada di galeri atau di iCloud.
Saya juga nggak menyalahkan teman-teman yang tetap sharing apapun kegiatan pribadinya di media sosial. Karena itu memang haknya, dan saya ikut senang kalau mereka upload yang bikin mereka senang.
Saya nggak bisa mengatur orang mau komentar apa juga, tapi saya bisa mengatur dan mengontrol apa yang harus saya lakukan demi kebaikan mental saya sendiri.
Hah, lega banget bisa nulis panjang tentang apa yang sudah lama saya pikirkan ini.
Kalau kalian juga merasakan manfaat dan sakitnya dua mata pisau dari media sosial, cerita di kolom komentar juga ya.
Get notifications from this blog
Hemm, memang banyak banget dampaknya kalau kita terlalu terjerumus ke media sosial, memang harus bijak-bijak menggunakannya agar tidak merusak.
ReplyDeleteAda sih memang yang begitu, tapi kalo aku pikir2, rasanya aku belum pernah dapet komentar jelek dari postingan2 ku di medsos. Semoga aja ga ada yg menganggab postingan, foto dan caption ku mengganggu Yaa :)
ReplyDeleteTp akupun membatasi apa yg mau aku share mba. Kalo hanya cerita kuliner dan traveling, aku pasti share. Tapi untuk keluarga, aku jarang, pernah, tapi ga sering, dan sangat aku pilah. Krn memang aku juga ga mau urusan pribadi keluarga tersebar kemana2.
Ada sih temen2 yg banyak cerita pribadi mereka di medsos. Aku pribadi ga masalah. Itu medsos mereka, ya hak mereka juga mau nulis apa aja. Tapi kalo kita terganggu, ya tinggal unfollow atau mute :D. Cuma aku blm pernah menganggab tulisan2 curhat gitu terganggu Yaa. Kecualiiii kalo isinya ngomel2 ga jelas tanpa solusi hahahahha. Naah itu aku unfollow :D.