Sesekali Tanpa Ambisi
Saya nggak tahu kapan tepatnya saya menyadari kalau saya orang yang cukup ambisius tapi yang pasti memang sedari kecil saya dididik untuk bisa mencapai sesuatu yang orang tua saya targetkan.
Misalnya kalau di sekolah harus ranking. Cara orang tua saya mendidik bukan yang seperti diktator kayak "kamu harus ranking, kalau nggak berarti anak bodoh". Tapi mereka menemani saya belajar, dan bilang kalau dulu mama di sekolah berprestasi, kakak kamu berprestasi, maka contohlah kakak dan mama.
Mama saya juga bukan cuma sekedar motivasi, tapi benar-benar menemani saya belajar dan menyiapkan segala keperluan sekolah. Jadi saya pun merasa harus beprestasi untuk bagian dari membalas semua yang orang tua berikan.
Terus-terusan dapat juara, akhirnya membuat saya merasa memang saya "bisa". Maka setiap kesempatan yang ada, saya pun percaya saya akan mendapatkannya. Apa lagi kalau berhasil, ternyata rasanya pujian dan sanjungan itu menyenangkan.
Sampai saya pernah gagal, sepele memang. Cuma gagal mengisi kuis soal yang disediakan guru. Itupun bukan gagal menjawab, tapi gagal mendapatkan soal. Karena hanya disediakan 5 kertas soal, dan soal tersebut harus rebutan sekelas tergantung siapa yang datang paling pagi.
Akibatnya saya menangis terus-terusan. Merasa payah, gagal, menyesal. Seandainya saya nggak bangun kesiangan pasti saya yang dapat soal itu.
Mental seperti itu terus mengikuti saya sampai dewasa. Kalau saya merasa bisa, sudah usaha, dan ternyata gagal, saya menyikapinya dengan berlebihan. Menangis, menyalahkan diri sendiri, menyalahkan keadaan, menyalahkan waktu, kang bakso, kang siomay, pokoknya siapa aja yang lewat juga salah.
Saya juga sering terjebak dengan kata "produktif". Produktif bagi saya kalau dalam satu hari saya bisa mengerjakan banyak hal sekaligus. Ya masak, beres-beres, kerja di kantor, main sama anak, bikin konten, wah kalau berhasil mengerjakannya saya merasa bangga dengan diri sendiri.
Sebaliknya, karena keadaan sering saya nggak bisa melakukan itu semua dalam satu hari. Misal memang kerjaan di kantor lagi banyak-banyaknya, pulang sudah hampir magrib, nggak sempat masak, capek, anak ngajak main saya alihkan ke nonton Youtube.
Setelahnya saya akan merasa payah, merasa nggak produktif, dan merasa harusnya saya lebih ngepush diri sendiri dengan cara begadang atau bangun jam empat pagi sekalian.
Cuma ketika saya memaksa diri saya seperti itu, besoknya saya drop, sakit, jadi harus istirahat lebih banyak dan lebih banyak lagi hal yang nggak bisa saya lakukan.
Itu soal kegiatan sehari-hari, belum lagi tentang target dan impian di masa depan. Saya punya buku catatan yang berisi daftar keinginan yang ingin saya capai.
Contohnya harus lulus kuliah umur sekian, punya rumah sendiri sebelum umur 30, punya tabungan dengan nominal sekian pada tahun sekian, semuanya dirinci dengan perkiraan waktunya.
Memang catatan itu bisa jadi pengingat dan penyemangat, tapi ketika lewat dari target yang saya tuliskan saya lagi-lagi merasa payah, menyalahkan diri sendiri, menyalahkan keadaan.
Lama-lama saya capek banget rasanya dengan perasaan yang terus terulang seperti itu. Saya juga jadi nggak enjoy dengan momen yang ada sekarang, mikirnya terus kedepan, harus cepat nyelesain ini itu, harus bisa dapatin target a-z.
Pernah suatu hari saya memang nggak ngapa-ngapain yang saya anggap produktif. Saya cuma melakukan kegiatan seperti biasa tanpa ambisi atau target tertentu. Di rumah saya masak, main sama anak, ngobrol sama suami.
Ternyata hal-hal biasa yang saya lakukan ini menyenangkan juga kok. Lagian apa yang salah dari ini semua? Menikmati masakan bersama suami dan anak, leyeh-leyeh sambil scroll tiktok, ngangkat jemuran dan lipat pakaian, rasanya nikmat ketika saya benar-benar ada di momen ini tanpa mikirin hal-hal lain.
Lagi pula memangnya kenapa kalau saya telat lulus kuliah dari teman-teman seangkatan? Memangnya kenapa kalau tabungan saya belum mencapai nominal sekian di umur sekian? Yang penting kan saya nggak berhenti kuliahnya, dan akhirnya selesai juga. Yang penting kan saya tetap mengatur keuangan sehingga nggak harus gali lobang tutup lobang.
Sekarang saya mulai mengurangi menulis target-target dalam hidup saya, dan belajar untuk lebih bijak menyikapi kegagalan.
Hidup ini bukan perlombaan, yang harus cepat-cepatan untuk mencapai banyak tujuan. Hidup kan cuma sekali kalau saya sibuk mikirin target di masa depan, saya jadi lupa menikmati apa yang ada di depan mata di masa sekarang.
Tentang kegagalan, saya mau belajar bahwa nggak segala sesuatu diukur dengan hasil tapi juga dengan proses. Lagi pula kalau gagal, itu artinya saya sudah berusaha dan mencoba kan? Itu jauh lebih baik daripada nggak pernah mencobanya sama sekali.
Saya juga belajar mencintai diri sendiri bukan cuma soal merawat penampilan, atau menambah penghasilan, tapi dengan tidak menjadikan diri ini "budak" yang harus melakukan ini, harus melakukan itu, dalam satu waktu yang mana kalau gagal, saya akan memarahi diri sendiri habis-habisan.
Yah, semoga kedepannya saya bisa lebih baik dengan diri sendiri.
Get notifications from this blog
Nah, sama memang gak bisa banget berhenti di satu ambisi kalau berhasil mencapai satu ambisi pasti punya ambisi yang lebih lagi. Menurutku begitu hidup, jadi perlu banget adanya ambisi walau kadang capek sendiri agak hampa aja kalau hidup tanpa ambisi.
ReplyDeleteBukan tanpa ambisi mungkin. menempatkan sesuatu pada tempatnya saja. Padahal suatu saat saya merasa menyesal karena suatu saat hanya menatap laptop di tengah waktu keluarga. Padahal keberhasilan waktu itu adalah bercengkrama dengan keluarga. Tapi kita memang harus yakin sih apa yang kita lakukan, memang yang terbaik. Semoga selalu mendapat petunjuk amien
ReplyDeletePostingan ini seperti pencerahan buat saya, sangat menarik.
ReplyDeleteSaya pengagum orang yang punya ambisi dan tekat dalam pencapaian sesuatu. Pengen banget bisa punya perasaan seperti itu, tapi hati kecil selalu berkata, ya sudahlah, biarlah hidup seperti air mengalir, nikmati aja apa adanya dan cintai apa yang dimiliki...
Kalau saya dididik bisa nggak bisa harus bisa, dan cuman dituntut, nggak diajarin.
ReplyDeleteBoro-boro disiapin perlengkapan, hahaha.
Tapi karena itu,saya bisa bertahan hidup sendirian di daerah orang lain.
Meskipun semakin ke sini, saya juga mulai berhenti berambisi.
Saya juga sibuk mensyukuri apa yang telah saya capai saat ini :)
Punya ambisi sangat melelahkan, kadang pengin hidup apa adanya.
ReplyDeleteTapi juga kadang ingin memperjuangkan apa yang ada.
Salam kenal
kegagalan dalam suatu hal memang biasa, tapi tiap orang menyikapinya berbeda-beda. Ada yang bisa menerima, ada juga yang enggak.
ReplyDeleteTarget aku kebanyakan nggak pernah aku tulis, cuman aku batin dan inget aja, pengennya tahun ini apa, seringnya gitu
tapi tetep berusaha untuk mencapainya
Aku justru santai dan ga ambisius mba 😁. Dulu pas masih ngantor, budaya sikut menyikut itu gencar banget. Semua kolega rasanya berlomba memperebutkan posisi. Tapi aku santai aja. Mungkin Krn tujuan aku kerja juga buat nambah2 uang jajan traveling aja, bukan buat yg lain2. Makanya aku santai. Dapat gaji bulanan dan benefitnya udah cukup. Tapi karena sikapku yg begitu, aku malah lebih diperhatiin 🤣. Dan justru bisa naik tanpa harus capek nyikut. Trus, temen2 yg biasanya saling ga enak Ama saingan mereka, sama aku justru lebih santai. Krn mereka tahu aku ga punya ambisi itu , jadi menurut mereka, aku bukan ancaman atau saingan. 😁.
ReplyDeleteKalo suamiku baru deh, ambisius banget Ama karir. Tapi it's ok lah, toh dia cowok, memang harus maju 😄. Aku cukup support dari belakang.
Walopun dalam karir aku ga ambisius, tapi soal target hidup kayak destinasi traveling, investasi harus nambah berapa, aku fokus banget. Dan harus achieve! Kalo tentang itu aku sampe bikin detiiil gimana cara mencapainya, waktu yang dibutuhin, budget dll.
Mungkin Krn passionku di sana Yaa. Jadi memang aku lebih semangat ngejarnya. Beda Ama target2 lain yg aku lebih santai ngadepinnya 😄